Siapa Namamu? Bagaimana kisahnya? Ini Namaku, dan Ini Kisahnya. (PeDe BaNgeTtt??)  

Posted by: Intan Lingga in

      Namaku, INTAN LINGGARATRI
Sewaktu kecil, aku bertanya pada Bapakku, “Pak, namaku artinya apa?” dan Bapakku menjawab, “Intan itu benda yang mahal, batu mulia. Lingga itu dari kata Purbalingga, Ra dari kata Perwira (kata ini melekat pada sebutan Kota Purbalingga=Purbalingga Perwira), terus tri (pada Ratri) itu dari kata Putri. Jadi, Intan Linggaratri itu benda mulia yg mahal, putri Purbalingga Perwira,” begitu kata Bapakku. Setelah itu, aku sangat bangga dengan namaku, ‘aku bangga sebagai Putri Purbalingga Perwira’, begitu kataku pada hatiku sendiri.
Lima tahun yang lalu, saat awal-awal aku pacaran dengan pacarku, kami makan bubur ayam pagi-pagi dan dia bertanya siapa nama panjangku. Aku bilang “Ngapain? Mau dipelet?”, dia bilang “Masa ga boleh tau nama panjang pacar sendiri..,” begitu katanya. Lalu dia tertawa setelah aku beri tahu. Menurutnya, nama Lingga itu seharusnya untuk laki-laki. Aku lalu menyadari, teman pacarku yang bernama Lingga itu laki-laki, tetangga depan rumahku yang bernama Lingga, itu pun laki-laki. Di pelajaran Sejarah, ada Lingga-Yoni, Lingga untuk yang laki-laki, Yoni untuk yang perempuan. “Bener juga yah…,” pikirku. Sejak saat itu, aku mulai meragukan kepercayaanku atas namaku yang aku banggakan sebelumnya.

Saat aku SMA, seorang guru Fisika (yang aku takuti..aku takut Fisika…padahal ambil IPA di kelas 3, ha ha) yang mengabsenku, tiba-tiba bertanya “Intan, kamu lahir malam hari ya? Namanya Ratri…,” begitu katanya. Aku cuma cengar-cengir saat itu. Sepulang sekolah, aku tanya pada Ibuku, jam berapa aku lahir. Ibuku menjawab, “Malem, sekitar habis Magrib mau Isya,” Ibuku menjawab dengan Bahasa Purbalingga (yang eksis sebagai bahasa ngapak). Saat itu aku baru tahu kalau aku lahir Kamis Pahing hampir Isya.

Tiba-tiba, aku mulai khawatir kalau Bapakku itu berbohong.

Sampai saat aku punya facebook dan membuat status yang kurang penting. Salah seorang temanku, mengingatkan aku saat-saat ketika kami SD dulu. Ya, aku baru ingat. Dari kelas 2 SD, sampai lulus SD, di upacara tiap Senin, aku selalu berteriak di lapangan. Profesiku ketika itu adalah Pemimpin Upacara (walau tak dibayar..hehehe). Aku sampai bosan, sampai mengeluh, aku pun ingin sekali-sekali jadi Pembawa Bendera, atau Pembaca Undang-Undang, atau Penjemput Pembina Upacara, menurutku yang teman-temanku lakukan itu keren. Kebosanan itu menjalar ke hal-hal yang lain kala itu. Tiba-tiba aku jadi kapten di lomba senam SKJ (Senam Kesegaran Jasmani) kala SD, dengan rambut diurai dan pita memutari kepala. Lalu aku sedikit mengeluh karena sebenarnya aku bosan ada di depan.

Pengalaman itu ternyata terbawa sampai sekarang. Sampai kemarin, aku masih saja sering mengeluh, kadang ‘capek’, dan lain-lain. Tapi aku selalu ingat, Bapakku bilang, “Kalau makan ayam, pilih kepalanya, biar jadi pemimpin,” begitu kata Beliau. Aku memang sangat suka kepala ayam, pikirku. Ternyata saat aku membeli gudeg bersama teman-teman hebatku dan memilih kepala sebagai lauknya, Ibu penjual gudeg membenarkan perkataanku. Aku tertawa mendengarnya. Mungkin, inilah hasil orangtuaku memberi kata Lingga pada namaku, yang diinginkan bukannya ‘seperti lelaki’, tapi ‘seperti pemimpin’, yang notabene pemimpin memang lebih cenderung mewakili laki-laki. Setelah aku sadari, itu melekat dalam cara berpikirku, cara bertindakku.

Satu lagi, masalah Ratri di namaku. Setelah aku tahu lahirku malam hari, aku jadi heran mengapa aku takut gelap. Bukan takut pastinya, tapi kurang nyaman. Menurut teman-temanku kala SMA, seharusnya anak yang lahir malam hari itu tidak takut gelap, justru suka dengan gelap. Tapi teori mereka ternyata tidak berlaku sama sekali untukku. Beberapa jam yang lalu, aku membuka website seorang tokoh ternama, Prie GS (aku mengenalnya dari salah seorang sahabat hebatku). Dia menulis tentang gelap. Bahwa tanpa gelap, kita takkan tahu rasanya terang. Gelap yang pekat, membuat kita bisa menghargai nyala lilin kecil yang selalu kita andalkan saat lampu mati, kita ingat lilin hanya saat membutuhkannya. Gelap membuat kunang-kunang berbeda dari serangga malam kecil yang lain. Gelap membuat cahaya kecil menjadi berharga. Dan, itulah aku (aku meyakininya), aku meyakini mungkin nama Ratri itu memang nama yang dilekatkan padaku agar aku seperti kegelapan yang membuat cahaya begitu berharga.

Detik ini, aku mendeklarasikan bahwa aku akan dengan bangga menyebut namaku pada semua orang yang aku temui. Aku bangga pada orang tuaku yang membuatkan peta ini untukku. Dan aku percaya ini sudah ditakdirkan untukku, aku akan dengan bangga mengembannya.

Itulah ceritaku untuk namaku. Jadi… siapa NAMAMU? Bagaimana cerita dari namamu? Bagaimana istimewanya dirimu? Ceritakan untuk menginspirasi banyak orang…^_____________^

Purbalingga, 22 Januari 2011, 09.44 AM
__Feel’inLucky__

Nasionalisme, yang seperti apa?  

Posted by: Intan Lingga in

Tergelitik dengan status Facebook salah satu sahabat hebat saya mengenai nasionalisme, saya tiba-tiba mencari-cari berita, artikel, blog, dan sejenisnya mengenai apa itu nasionalisme. Apakah nasionalis itu berarti setiap hari menyanyikan Lagu “Indonesia Raya..Merdeka..Merdeka..Hiduplaaaah…Indonesia Raya…”, atau seperti anak SD yang dengan lantang mengumandangkan Pancasila tanpa kesalahan di tiap sila-nya? Well, tentu saja bukan. Kita menghafal Pancasila bukan hanya untuk diucapkan bukan? Tapi diamalkan. Saya bukanlah orang yang fanatik dengan nasionalisme, karena saya merasa di era yang terus berlari seperti sekarang ini, saya pun bingung bagaimana seharusnya menjadi nasionalis. Tapi saya rasa saya cukup setia dengan bangsa saya ini (semoga..amin).
Sehari yang lalu, saya baru saya berkomentar dan sedikit mengulas tentang Daniel Sahuleka yang beberapa waktu yang lalu mengadakan konser di salah satu hotel berbintang lima di Yogyakarta, kota yang menjadi domisili saya sekarang sekaligus beberapa waktu terkena bencana letusan Merapi. Kalau tidak salah, tiket nonton konser itu dibandrol sekian ratus ribu hanya untuk tiket biasa dan lima ratus ribu untuk VIP-nya. Yang saya kagumi adalah idola saya itu datang jauh-jauh dari Belanda, menggelar konser mahal dan dananya didedikasikan untuk korban merapi. Padahal, beberapa kawan saya (di obrolan ringan angkringan jalanan) memberi tahu saya bahwa Jogja adalah kota yang sangat sulit mendapatkan penonton utk acara musik yang “mbayar”. Tapi ini mungkin agak berbeda, karena yang datang adalah tokoh dunia yag notabene pasti audience-nya sangat segmented dan tentu saja berkantong tebal.
Ok! Sekarang kita lihat beberapa waktu lalu, ‘ummat’ Indonesia memaki Malaysia karena mengklaim beberapa budaya Indonesia sebagai budaya-nya. Itu isu luar biasa yang bergulir beberapa lama, khususnya di dunia maya. Facebook, twitter, dan teman-temannya. Saya rasa sebetulnya dalam banyak hal Indonesia selalu saja kecolongan seperti itu. Entahlah, tapi saya salah satu orang yang malas untuk ikutan di situ, karena menurut saya itu pasti tidak akan bertahan lama untuk banyak orang. Hanya aka nada segelintir orang yang bertahan, yang sebagian banyak itu akan pindah ke isu yang lain. Indonesia penuh konformitas. Konformitas itu, keadaan saat seseorang takut ketinggalan “teman-temannya” lalu mengikuti mereka tanpa tahu bagaimana yang sebenarnya (kira-kira begitulah intinya).
Satu kasus lagi. Blackberry yang sekarang ini sedang ramai diperbincangkan. Saya tiba-tiba mendapat artikel tentang RIM yang mengunci semua data dan transaksi para pengguna BB (kalau dijelaskan panjang). Intinya adalah, RIM dilindungi pemerintah Kanada, semua orang pengguna BB yang ingin mengakses database-nya harus bertemu Kanada lalu Kanada akan menyampaikan pada RIM, lalu begitu sebaliknya. It means, kalau presiden kita dan jajarannya mau mengakses apa saja yang mereka bicarakan via BB Messenger harus menghubungi Kanada sebagai makelarnya dengan RIM. So..? Apa kita yang masih tertinggal masalah teknologi ini akan dapat mengantisipasi saat dokumen-dokumen penting tentang kerahasiaan negara bukan hanya bisa diintip, tapi dipelototi oleh pemerintah negara lain yang notabene memiliki otak, alat, dan mental yang jauh melebihi kita? Saya rasa tidak. Tamparlah diri kita!! (ini saya cuplik dari sahabat hebat saya yang lain), mental kita, otak kita, untuk lebih cerdas dan tidak picik memandang apa itu nasionalisme.
Jadi..? Apa itu nasionalisme? Bantu saya menemukannya kawan,… terimakasih utk sahabat-sahabatku yang hebat.
____Feel’inLucky____, 
Purbalingga, 20 Januari 2011