Penelitian Tak Harus Maha Dahsyat  

Posted by: Intan Lingga in



Hasil penelitian tidak harus maha dahsyat. Yang terpenting adalah munculnya inovasi-inovasi baru yang merupakan ide murni dari para mahasiswa. Hakikat penelitian adalah mencari nilai-nilai kebenaran, yang pada akhirnya akan dapat diukur dan dibuktikan secara ilmiah. Selain itu, harus ada internalisasi nilai-nilai ke-Islaman. Jangan sampai menjadi orang pintar yang moralnya dipertanyakan.

Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan UMY,  Sri Atmaja P. Rosyidi, Ph.D, pada acara “Penjelasan Teknis Anggaran PKM oleh Lembaga Penelitian Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) UMY”, di Kampus Terpadu UMY, Rabu (1/2) pagi. Penjelasan ini dilakukan dalam rangka membimbing mahasiswa agar penelitian yang dilakukan semakin terarah, sehingga bisa optimal.

Menurut Sri Atmaja, kompetisi Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) adalah ujian bagi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), untuk membuktikan sejauh mana bisa membuat perencanaan yang baik, inovatif, serta berpegang pada nilai-nilai ke-Islaman. “Targetnya bukanlah kuantitas, tapi kualitas. Sehingga lolosnya proposal mahasiswa bukan menjadi hal yang aji mumpung, tetapi merupakan perencanaan matang yang disusun untuk setiap tahunnya,” terangnya.  

Sri Atmaja menjelaskan, mahasiswa akan diberi log-book, sebagai buku harian penelitian. “Log-book akan segera diberikan kepada tim penelitian mahasiswa sebagai buku rekam jejak selama penelitian. Hal ini penting, agar segala macam temuan-temuan data di lapangan dapat terdokumentasikan dengan baik. Laporan penelitian harus dapat disusun dengan rinci dan rapi, sehingga semua data yang dimiliki lengkap,” ujarnya.

Walaupun demikian, masih menurut Sri Atmaja, pencapaian dalam bentuk dokumen atau laporan saja belum cukup. “Apalah artinya laporan, bila hanya akan berakhir di rak saja”, tambahnya. Lebih lanjut Sri Atmaja menuturkan, penelitian harus memiliki value (nilai). Banyak nilai yang harus dicapai, antara lain atmosfer akademis yang harus ikut terbentuk seiring proses penelitian ini. “Nilai tersebut misalnya, adanya komunikasi yang intensif antar mahasiswa dengan dosen, terutama dosen pembimbingnya. Muncul kreativitas dan inovasi yang baru, yang merupakan ide murni dari mahasiswa,” jelasnya.



Anggota Harus Paham Prinsip Koperasi  

Posted by: Intan Lingga in


Koperasi harus berpegang teguh pada prinsipnya. Bila tidak, koperasi akan sulit untuk maju.  Masing-masing anggota harus sadar betul mengapa berkoperasi dan tahu koperasi itu apa. Saat ini, banyak yang sudah berkoperasi namun tidak tahu prinsip berkoperasi.

Hal tersebut disampaikan oleh Ahmad Ma’ruf, Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dalam acara “Pelatihan Koperasi” bagi Karyawan UMY, Senin (30/1) siang. Acara ini digelar dalam rangka memberikan pemahaman kepada karyawan tentang prinsip koperasi dan bagaimana seharusnya kesadaran berkoperasi dibangun.

Koperasi adalah sekumpulan orang secara sukarela, berbeda dengan orang yang berkumpul dan patungan saham. Menurut Ahmad, koperasi memiliki prinsip yang harus dipegang teguh agar koperasi dapat betul-betul mensejahterakan anggotanya. “Keanggotaan koperasi sukarela dan terbuka, artinya siapa saja boleh ikut selama koperasi mampu memenuhi kebutuhan anggotanya. Setiap anggota memiliki suara yang sama dalam koperasi, tidak membedakan lamanya menjadi anggota atau pun banyaknya simpanan. Selain itu, anggota harus berpartisipasi secara ekonomi,” jelasnya.

Selain itu, masih menurut Ahmad, koperasi merupakan perkumpulan otonom dan mandiri. “Tidak boleh ada intervensi, walaupun pihak luar mungkin menawarkan keuntungan yang banyak, tapi kalau tidak sesuai dengan aturan koperasi, tetap harus ditolak. Koperasi harus mandiri, tanpa melupakan kerja sama dengan koperasi lain. Selain itu, koperasi harus punya program kepedulian bagi masyarakat. Misalnya menggelar sunatan massal ata memberikan sumbangan bagi panti asuhan di lingkungan sekitarnya,” tambah Ahmad.

Lebih lanjut Ahmad menambahkan, kebutuhan manusia secara mendasar ada tiga dan bisa terpenuhi dengan berkoperasi. “Yang pertama adalah kebutuhan ekonomi, lalu sosial, dan budaya. Koperasi dasarnya adalah usaha bersama. Anggota bisa mengelola dana untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Sebagai makhluk sosial, koperasi bisa menjadi sarana bersosialisasi, juga melatih berorganisasi. Sedangkan nilai budaya, orang bisa bersolidaritas dan bekerja sama melalui koperasi,” ungkapnya.



Sarana Terbatas Memicu Berpikir Strategis  

Posted by: Intan Lingga in


Sarana yang terbatas memicu seseorang berpikir strategis. Dengan sarana yang terbatas, secara otomatis kita pun akan menentukan tujuan yang terbatas. Di luar hal tersebut, seseorang akan membangun perencanaan yang matang, karena mengetahui bahwa segalanya serba terbatas. Kuncinya adalah perencanaan, kepemimpinan, dan strategis. Perencanaan strategis ini membuat pemimpin mampu membawa situasi ke arah yang lebih baik.

Hal tersebut disampaikan oleh Husni Amriyanto, S.IP, M.Si, saat menjadi pemateri dalam Diskusi “Perencanaan dan Kepemimpinan Strategis : Teori dan Praktik” bagi para manajer di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Rabu (25/1), bertempat di Kampus Terpadu UMY.

Husni menjelaskan, saat ini di Indonesia sedang terjadi krisis kepemimpinan. “Saat ini kita krisis kepemimpinan. Seharusnya strategi kepemimpinan strategis dapat diterapkan oleh para pemimpin, sehingga mereka bisa membawa lembaganya ke arah yang lebih baik. Kalau segala sesuatu dilakukan dengan sarana yang melimpah, siapa saja bisa. Seharusnya pemimpin mampu mengelola sarana yang terbatas untuk mencapai tujuan bersama. Pemimpin semacam inilah yang ideal,” ujarnya.

Dalam mengimplementasikan kepemimpinan yang strategis, lebih lanjut Husni menjelaskan, ada beberapa kendala yang muncul saat ini. “Problematika kepemimpinan strategis seringkali berupa krisis moral dan integritas, demoralisasi pemimpin, menguatnya budaya feodalisme, dan praktik-praktik koruptif yang sistematis dan sinergis. Selain itu, pemimpin yang sombong, serakah, memiliki kegersangan spiritual, dan mengabaikan keluarga, juga menjadikan kepemimpinan tidak efektif,” lanjut Husni.

Menurut Husni, kepemimpinan yang strategis harus memiliki basis dan orientasi. “Kepemimpinan strategis harus berbasis pada integritas moral, kompetensi akademis dan skill, visi untuk maju, tradisi keluarga, serta pengalaman. Dengan berbasis pada hal-hal tersebut, maka pemimpin dapat membawa perwujudan tindakan yang membawa rahmat bagi semua pihak,” ungkapnya. 

Abaikan Aspirasi Rakyat Sebabkan Konflik Berkepanjangan  

Posted by: Intan Lingga in


Pemekaran wilayah di Indonesia seringkali diwarnai konflik. Pemekaran wilayah yang mengabaikan aspirasi masyarakat, memang bisa menjadi pemicu konflik berkepanjangan. Pemekaran wilayah seharusnya dapat mendekatkan masyarakat kepada pelayanan publik yang lebih baik. Namun sayangnya, pemekaran di Indonesia tidak sejalan dengan pencapaian kesejahteraan masyarakat. Pemekaran wilayah justru seringkali menjadi agenda beberapa pihak untuk mendapatkan kekuasaan. Bila hal ini dibiarkan terjadi, maka pemekaran wilayah hanya semakin menyengsarakan rakyat. 

Hal ini disampaikan oleh Tunjung  Sulaksono, M.Si, tim peneliti dari Jusuf Kalla School of Government Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (JKSG UMY), Rabu (18/1) bertempat di Kampus Terpadu UMY. Tunjung bersama tim peneliti lainnya memaparkan hasil penelitian yang berjudul “Konflik Bisnis dan Politik : Studi Kasus Pemekaran Wilayah Maluku Utara”. 

Menurut Tunjung, Maluku Utara menjadi bukti bahwa pemekaran yang dimanipulasi pada akhirnya menimbulkan konflik masyarakat. “Pemekaran wilayah saat ini sepertinya sangat mudah dimanipulasi oleh pihak tertentu. Aspirasi masyarakat tidak tersampaikan, tetapi terlihat seolah-olah pemekaran wilayah adalah untuk kepentingan masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya masyarakat tidak telalu membutuhkan pemekaran wilayah. Karena ternyata penataan wilayah justru tidak memberikan jaminan pelayanan yang lebih baik dari pemerintah,” ujarnya.  

Lebih lanjut Tunjung menjelaskan, seharusnya ada aspek-aspek yang perlu dimasukkan sebagai pertimbangan dalam hal pemekaran wilayah. “Seharusnya, pemekaran wilayah mempertimbangan aspek sosiologis masyarakat. Tidak perlu disama ratakan, bila memang masyarakatnya belum mampu. Misalnya ketika berbicara masalah pemilukada, seharusnya daerah pemekaran tidak perlu dipaksakan untuk ikut menyelenggarakan pemilukada. Perlu diberikan waktu bagi masyarakat di daerah pemekaran untuk dewasa secara politik. Bila memang diperlukan, tidak ada salahnya pemerintahan dijalankan oleh pelaksana harian terlebih dahulu,” tambahnya. 



Komitmen Pemerintah Lokal dalam Hal Mitigasi Bencana Masih Rendah  

Posted by: Intan Lingga in


Komitmen pemerintah lokal dalam hal mitigasi bencana masih rendah. Penelitian yang melibatkan 124 kota di Amerika menunjukkan hal tersebut. Terkadang pemerintah daerah cukup memiliki komitmen, namun tidak mengimplementasikannya. Padahal ketika peraturan mengenai tata guna lahan diterapkan, hal tersebut dapat mengurangi dampak kerusakan pada daerah rawan bencana. Peraturan cenderung didesak untuk diimplementasikan ketika daerah sudah mengalami bencana yang sangat besar.

Hal ini disampaikan oleh Rahmawati Husein, Ph.D, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (IP UMY), saat mempresentasikan disertasinya yang berjudul "Kapasitas dan Komitmen Pemerintah Lokal dalam Mitigasi di Sepanjang Perairan Texas", bertempat di Kampus Terpadu UMY Kamis (12/1) pagi. Gelar doktor Rahmawati baru saja didapatnya dari Texas A & M University, Amerika Serikat. 

Menurut Rahmawati, pemerintah daerah harus meningkatkan komitmen atas peraturan demi menghindari dampak negatif yang besar saat terjadi bencana. “Di Texas, saya menemukan bahwa tidak banyak negara bagian yang menggunakan peraturan secara optimal. Peraturan pemerintah tidak banyak diimplementasikan, sehingga kerusakan saat bencana terjadi juga tidak dapat diantisipasi. Padahal, saat mitigasi bencana diterapkan, kerugian dapat ditekan, misalnya kerusakan dan kehilangan nyawa,” ujarnya. 

Lebih lanjut Rahmawati menjelaskan, ada beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur komitmen pemerintah lokal dalam mitigasi bencana. “Komitmen pemerintah diukur dengan melihat koordinasi antar satu pemerintah daerah dengan yang lain, berapa waktu yang dialokasikan untuk melakukan perencanaan, kerjasama dalam pemerintahan, kerjasama dengan departemen yang lebih tinggi, juga dengan melihat bagaimana kesepakatan yang dibuat dengan para stakeholder,” tambahnya. Rahmawati juga mengatakan, semua hal tersebut harus dilakukan secara optimal. “Walaupun jumlah staf untuk perencanaan sudah memenuhi, waktu untuk melakukan perencanaan pun harus dilihat. Karena perencanaan pun tidak akan optimal bila waktunya tidak betul-betul dialokasikan,” jelasnya. 

Sedangkan untuk kapasitas, ada beberapa indikator pula, seperti alokasi dana dari pemerintah, juga training untuk para staf. “Para staf maupun kepala harus diberi informasi mengenai daerah yang rawan bencana dan bagaimana perlakuan atas daerah itu. Bila staf tidak tahu, bisa jadi perencanaan yang dilakukannya pun akan ngawur,” pungkasnya.


Peran Islam dalam Dunia Internasional Belum Banyak Dikaji  

Posted by: Intan Lingga in

Keberadaan hubungan antar negara yang semakin intens selama ini dianggap sebagai hubungan yang terjadi akibat pengaruh beberapa negara besar saja, seperti Amerika Serikat dan Russia. Padahal, saat ini ketergantungan antar negara terjadi melibatkan hampir seluruh negara, termasuk negara-negara Islam. Hanya saja, hal ini belum banyak diangkat dalam kajian Hubungan Internasional.

Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Bambang Cipto, MA, saat membedah bukunya yang berjudul “Islam dan Masa Depan Hubungan Internasional”, Kamis (5/1) bertempat di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Bambang mengatakan, bukunya adalah sebuah provokasi untuk melahirkan penulis-penulis dalam kajian Islam dan Dunia Internasional. “Kita harus lebih banyak lagi mengkaji mengenai bagaimana hubungan internasional antara negara Islam dengan negara-negara besar. Sehingga orang tidak hanya berpandangan bahwa hubungan internasional adalah hubungan yang hanya melibatkan negara besar seperti Amerika saja. Tetapi bagaimana sebenarnya peran negara Islam dalam dunia internasional,” ungkapnya.

Menurut Bambang, bukunya terdiri dari dua bagian. Yang pertama adalah essay, yang berisi teori-teori hubungan internasional klasik sampai modern. Sedangkan yang kedua adalah studi kasus, yakni hubungan antar negara Islam seperti Iran dan Arab Saudi dengan negara barat seperti Amerika dan Rusia. “Dengan mengkaji mengenai bagaimana teori Hubungan Internasional lebih dalam, dibandingkan dengan hubungan internasional antar negara Islam dengan negara besar maka kita akan dapat melihat bagaimana peran negara Islam sebenarnya. Negara Islam harus mulai mencari peran yang tepat. Bukan hanya sebagai reaktor, tetapi sebagai pelaku itu sendiri. Sehingga dapat memberikan sumbangsihnya demi kebaikan umat secara general,” tuturnya.

Sementara pembahas yang dihadirkan, Dafri Agussalim, MA, mengatakan bahwa buku ini adalah salah satu perspektif alternatif. “Buku ini membuat kita menempatkan Islam bukan sebagai lawan dari pemikiran barat selama ini, tapi sebagai pandangan untuk mensejahterakan umat dengan niat yang positif. Islam adalah kemanusiaan, dan kita harus berpikir bagaimana agar negara Islam dapat berperan demi kehidupan yang lebih baik,” jelasnya. 

Release