Demokratisasi Merupakan Sebuah Proses  

Posted by: Intan Lingga in




Demokratisasi harus dipahami sebagai sebuah proses, bukan hasil. Bagi negara yang melakukan demokratisasi, ada dua hal yang harus dipikirkan. Yang pertama adalah masa transisi, yang kedua adalah bagaimana pembenahan yang dilakukan terhadap demokratisasi itu sendiri.
Hal itu disampaikan oleh Prof. Jacques Bertrand dari University of Toronto, Canada, saat menjadi pembicara dalam Kuliah Umum “Democratization and Ethnonationalist Conflict in Southeast Asia”, Kamis (15/3) di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Menurut Jacques, transisi dan pembenahan adalah dua aspek yang sama-sama penting. “Pada masa transisi dari rezim otoriter menuju demokrasi, biasanya pemerintahan agak kacau, karena institusi yang ada belum mapan. Namun demikian, pembenahan yang terus-menerus dilakukan lambat laun akan membuat demokratisasi menjadi semakin baik. Proses sangat penting, tetapi institusi tetap harus didirikan terlebih dahulu. Seperti orang yang ingin bisa bermain gitar, milikilah gitarnya dulu. Walau pun belum bisa, ters saja dimainkan, nanti lama-kelamaan akan bisa,” ujarnya.
Jacques menambahkan, ada beberapa kunci untuk menyukseskan demokratisasi. “Mayoritas adalah yang paling penting. Namun demikian, harus dilihat juga, apakah kelompok etnonasionalis sudah terwakili atau belum. Selain itu, perwakilan masing-masing daerah juga harus dipertimbangkan. Setelah semua itu terpenuhi, harus dibangun kredibilitas dari komitmen atas kebijakan yang dibuat secara nyata,” terangnya.

Kurikulum PTM Perlu Pembenahan  

Posted by: Intan Lingga in

Kurikulum pembelajaran di PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah) masih perlu banyak pembenahan. Saat ini, banyak sekali lulusan perguruan yang memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi namun ternyata belum mampu bekerja. Sebagian yang bekerja memang mampu bekerja sendiri, tapi kesulitan untuk bekerja secara tim. Perlu ada pembenahan dalam kurikulum dan sistem pembelajaran. Peta perkuliahan harus didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai, sehingga standar kompetensi yang dimiliki lulusan PTM di seluruh Indonesia terukur dengan jelas.

Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, Pakar Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, menyampaikan hal tersebut dalam acara “Workshop KBK dan Pengelolaan Jurnal” pada Rabu (14/3) bertempat di Kampus Terpadu UMY. Acara ini diselenggarakan oleh Asosiasi Program Studi Manajemen (APSMA) PTM Se-Indonesia.

Gunawan mengatakan, kurikulum yang ada harus selalu diperbarui sesuai kompetensi yang dibutuhkan. “Bila memungkinkan, setiap tiga sampai empat tahun sekali, kurikulum harus diperbarui. Hal ini harus dilakukan karena kebutuhan kompetensi di masyarakat juga akan terus berkembang. Dosen harus paham mengapa sebuah mata kuliah diberikan kepada mahasiswa. Sehingga hasil akhirnya akan lebih jelas dan terukur. Pemberian porsi dan jenis mata kuliah nantinya harus menyesuaikan tujuan yang akan dicapai,” ungkapnya.

Selain itu, masih menurut Gunawan, ada lima hal minimal yang harus ada pada setiap lulusan sarjana PTM. “Sarjana paling tidak lulus dengan memiliki lima hal, yakni landasan kepribadian, penguasaan ilmu dan keterampilan, kemampuan berkarya, sikap dan perilaku yang baik dalam berkarya, serta pemahaman kaidah kehidupan bermasyarakat,” jelasnya.

Oleh karenanya, lanjut Gunawan, nilai-nilai Islam harus menjadi sebuah value, bukan hanya pendekatan ilmu saja. “Islam harus dapat masuk ke dalam nilai-nilai pembelajaran. Kita punya semboyan kebersihan adalah sebagian dari iman, tapi apakah kamar mandi di kampus lebih bersih dan wangi dibandingkan kamar mandi di Mall? Hal itu harus menjadi introspeksi,” pungkasnya.

Aku dan Tangga tanpa ujung #Part 1  

Posted by: Intan Lingga in




Bu Retno, wonder woman, single parent

Di sebuah rumah susun dia tinggal. Sekilas, rumah susun itu tampak seperti asrama mahasiswa yang masih baru. Pertama kali aku mendatangi tempat tinggalnya, aku takjub. Setahuku, rumah susun itu kumuh. Ini mungkin persepsiku akibat tayangan-tayangan di Televisi yang selalu menampilkan rumah susun yang tampak kumuh, berisi jemuran-jemuran yang digantung sembarangan, dan anak-anak putus sekolah. Tapi rupanya, rumah susun ini rapi. Ada satpam yang siaga di mejanya untuk meminta identitas tamu yang datang. Entah untuk apa, mungkin, supaya aman? Aku tidak pernah sempat menanyakan, karena selama aku berkunjung ke rusun ini, aku cukup menyapa satpam sambil nyelonong masuk ke area parkir sebelah dalam. 

Bu Retno bercerai dengan suaminya empat tahun lalu, itu menurutnya. Alasannya, KDRT, Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sampai sekarang, mantan suaminya, yang sering disebut ‘mantanku’ oleh Bu Retno masih sering menghubunginya. Itulah yang membuatnya sering kali tidak mengangkat teleponku setiap kali aku mengambil jahitan di rusunnya, “di-silent Mbak,” dan membuatku harus menaiki tangga empat lantai untuk ke kamarnya. 

Kamar yang cukup sederhana. Ada tiga ruangan yang disekat di sana. Ruangan depan seluas tiga kali tiga meter, digunakannya untuk ruangan santai. Ada Televisi, Karpet, dan Dispenser di sana. Kadang, saat-saat tertentu, ada kasur tipis juga tergeletak di atas karpet hijau yang menutupi lantai ruang itu. Satu ruangan di belakangnya, lebih sempit, dan penuh dengan tumpukan kain, baju, dan perca. Ada sebuah alat jahit usang di salah satu sudutnya, alat jahit berpedal yang mirip dengan alat jahit dirumah nenekku. Diberi lampu kecil, seolah itu adalah meja belajar yang digunakannya ketika malam. Ada sebuah boneka manekin yang dibalut kebaya berwarna oranye, manis sekali. Dengan bangga dia selalu menceritakan kalau itu adalah seragam keluarga untuk pernikahan keponakannya.

Sejak perkenalanku dengannya bulan lalu, sudah beberapa kali aku kemari. Seminggu dua kali, aku selalu mengantar kain dan mengambil jahitan darinya. Dari keempat penjahitku saat ini, Bu Retno adalah penjahit yang sebenarnya paling tidak rapi jahitannya. Sudah beberapa kali aku memberinya pengarahan, tapi rasanya sama saja. Tapi ya sudahlah, aku tidak tega untuk tidak memberinya order jahitan. Lagi pula, tiga penjahitku tidak sanggup memenuhi pesanan yang setiap hari semakin banyak. Aku memiliki empat kenalan penjahit, keempatnya berbeda karakter, berbeda visi, tapi mereka semua perempuan. Bu Retno tinggal berdua dengan anak lelaki bungsunya. Anak lelaki sulungnya sudah berkeluarga. 

Dari awal menatap matanya, aku tahu ada sesuatu di balik bola matanya. Entah kenapa, setiap kali ngobrol dan bertemu pandang, aku ikut merasa pedih. Bola mata dan keriput di sekelilingnya, membuatku yakin kalau Bu Retno sudah sangat banyak makan asam garam kehidupan. Aku seringkali menebak-nebak apa yang sudah pernah dialaminya, benar-benar membuatku penasaran. Bu retno yang agak genit dan selalu memanggilku dengan sebutan yang berbeda dari orang kebanyakan. “Mbak In”. Dia selalu saja punya alasan setiap kali jahitannya telat, aku hanya mengiyakan sambil tersenyum simpul. Aku tahu dia berbohong, hanya saja aku berusaha memaklumi kalau pekerjaannya memang menyita banyak waktunya.
Bu Retno bekerja siang hari di sebuah rumah batik yang besar. Jam kerjanya membuatnya merasa tidak sempat mengerjakan ‘pekerjaan yang lain’. Yah, maksudnya adalah pekerjaan sambilan, seperti mengerjakan order dariku, misalnya. Satu yang membuatku iba padanya, dia selalu saja mengeluhkan majikannya. “Mbak In, saya itu kerja dari jam delapan pagi sampai empat sore, tapi gajinya kecil sekali,” begitu dia selalu saja mengulang hal yang menurutnya memberatkan itu. Katanya, sering dirinya dan tenaga kerja yang lain diminta lebur, tetapi hanya mendapat bonus semangkuk mie ayam. Padahal, masih menurut Bu Retno, majikannya dalam beberapa tahun saja sudah melipatgandakan mobilnya. “Dulu mobilnya dua, sekarang empat.” 

Aku semakin tidak yakin kenapa aku ingin menjadi pengusaha. Mau kaya? Mau mandiri? Mau punya segalanya? Di Indonesia, atau paling tidak, di beberapa seminar tentang kewirausahaan yang aku ikuti, kebanyakan berbicara masalah materi. “Orang yang bisa menjadi kaya raya, ya, pengusaha.” Dulu, tiga atau empat tahun yang lalu, aku memang salah satu orang yang ingin sukses dan kaya. Tapi beberapa tahun terakhir, aku sadar kalau seberapa pun uang yang ku miliki, akan habis untuk waktu yang singkat. Pakai saja uangnya untuk belanja, atau beli rumah, beli mobil, senang-senang dengan pacar, ludes sudah. Aku yakin ada yang lebih besar, jauh lebih besar dari itu. Salah satunya, mungkin, mengenal orang seperti bu Retno. Wanita separuh baya yang masih terlihat centil, dan gigih. Untuk memenuhi kebutuhannya, dia sering sekali mendatangi rumah teman-temannya untuk menawarkan diri membetulkan jahitan teman-temannya itu. Berbekal mesin jahit berwarna putih yang cukup kecil di dalam tasnya. Tapi hal itu, dilakukannya sebelum semua barangnya dijual oleh ‘mantannya’. 

Ada yang aku suka darinya. Saat berpamitan pulang dan mencium tangannya seperti yang kulakukan pada Ibuku sendiri. Itu menyejukkan. Walau dihatiku masih ada keraguan apakah hubungan yang kuanggap tulus ini juga dianggapnya tulus. Apakah dia cuma menganggapku “seorang mahasiswi yang berusaha jadi pengusaha, dan memberinya order”. Tapi apa pun yang dia pikirkan, aku yakin Sang Pencipta lebih tahu. Aku hanya berusaha mengikuti kata hatiku saja. Ini yang sekarang aku inginkan, yang membuatku hidup, walau pun ini juga yang membuatku sering mengeluh saat kegagalan-kegagalan datang menghiasi hari-hari terakhirku.

Kenaikan BBM, Paksa Rakyat Menderita  

Posted by: Intan Lingga in




Dengan naiknya harga BBM (Bahan Bakar Minyak), rakyat dipaksa menderita. Secara substansial kenaikan harga BBM yang sekarang ini diwacanakan, merupakan pilihan yang memaksa. Dampak yang timbul bukan hanya akan menambah beban rakyat miskin sebanyak 8%, tetapi 50%. Hal ini terjadi karena adanya korelasi kenaikan harga BBM dengan kenaikan harga kebutuhan mayoritas struktur pengeluaran masyarakat miskin, yakni konsumsi dan transportasi.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ahmad Ma’ruf. S.E., M.Si, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, pada diskusi terbatas mengenai “Kenaikan BBM”, Kam is (8/3) di Kampus Terpadu UMY.
Menurut Ahmad, pilihan yang diberikan pemerintah untuk masyarakat adalah pilihan yang sama-sama memberatkan. “Rakyat disuruh memilih, naik seribu atau naik seribu lima ratus, itu sama saja dengan pemaksaan untuk menderita. Nantinya, rakyat tidak hanya akan menanggung beban sebanyak 8% seperti yang sekarang dibicarakan di Jakarta, tetapi 50%. Karena pengeluaran masyarakat miskin, 70% adalah makan, minum, dan transportasi. Sisanya baru pendidikan dan kesehatan. Jadi tidak mungkin kalau implikasinya hanya 8%,” ujarnya.

Ahmad mengatakan, ada banyak jalan yang bisa dilakukan oleh pemerintah selain menghapus subsidi BBM. “Pemerintah mengalami kebocoran anggaran sekitar 30% setiap tahunnya. Seandainya, 10% saja, anggaran bisa lebih diefektifkan, pemerintah tidak perlu menghapus subsidi BBM, karena implikasinya akan sangat luas,” ungkapnya.

Selanjutnya, Ahmad juga mengatakan, bahwa ketika BBM naik, penggunaan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dari pemerintah hanya akan sia-sia. “BLT itu sifatnya sementara, dibagikan langsung habis. BLT tidak akan mampu menggantikan dampak yang terjadi pada masyarakat baik langsung atau pun tidak langsung, khususnya pada masyarakat miskin,” pungkasnya. 

Fahmi Idris: Konsep, Modal Utama Wirausaha  

Posted by: Intan Lingga in


Lulus dari Pendidikan Tinggi dengan hasil yang baik, bukan syarat mutlak untuk berhasil. Yang terpenting adalah bagaimana seseorang menghimpun ide dan niatnya menjadi sesuatu yang bernilai kreatif. Selama ini, orang yang ingin memiliki usaha selalu memikirkan bagaimana modal bisa didapatkan. Padahal, ada sebuah modal yang bisa kita persiapkan sendiri, yakni konsep. Konsep inilah yang bisa kita jual.
Hal tersebut disampaikan Mantan Menteri Tenaga Kerja Indonesia, Drs. Fahmi Idris, saat menjadi pembicara dalam Kuliah Perdana “Pengembangan Budaya Theoentrepreneurship”, Selasa (6/3) bertempat di Kampus Terpadu UMY.

Dalam acara yang diselenggarakan oleh Fakultas Agama Islam UMY (FAI UMY) ini, Fahmi mengungkapkan bahwa inti dari kewirausahaan hanya ada dua hal. “Inti dari kewirausahaan hanyalah kejiwaan dan keterampilan. Kejiwaan meliputi keberanian, tanggung jawab dalam memegang janji, serta konsistensi. Sedangkan keterampilan antara lain kemampuan negosiasi, komunikasi, kemampuan memimpin, dan memenangkan usaha,” ujarnya.

Menurut Fahmi, usaha bukanlah bakat. “Mau atau tidaknya seseorang berusaha itu bukan bakat atau pun turunan, melainkan kemauan. Kemauan yang kuat harus ada sebagai modal setiap orang. Harus ada niat yang diseimbangkan dengan ide. Jangan sampai, ide terlalu besar tapi niatnya kecil, atau sebaliknya,” ungkapnya.
Ditemui di tempat yang sama, Dekan FAI UMY, Dr. Nawari Ismail, M. Ag., mengatakan bahwa theoentrepreneurship sendiri adalah pengembangan karakter dalam kewirausahaan yang berbasis nilai-nilai ketuhanan. “Pembangunan karakter entrepreneurship dapat dilakukan dengan menginternalisasi nilai-nilai dan menumbuhkan sikap mental pribadi yang unggul. Pengembangan karakter kewirausahaan yang berbasis nilai-nilai ketuhanan, diharapkan akan mempertebal motif dan semangat wirausaha di kalangan umat Islam, khususnya mahasiswa,” terangnya.

Pemberdayaan Petani Jamur Belum Optimal  

Posted by: Intan Lingga in



Gempa Yogyakarta di tahun 2006 meninggalkan berbagai kerusakan dan kerugian. Untuk menata kembali perekonomian dan 
menyelesaikan krisis, salah satu upaya yang dilakukan sejauh ini antara lain pemberdayaan di sektor pertanian. Untuk mengoptimalkan hasil pertanian, perlu adanya pemahaman dari semua pihak terkait. Namun, ternyata ada perbedaan pemahaman antara pihak pemerintah dengan masyarakat petani itu sendiri. Akibatnya, pemberdayaan menjadi tidak seoptimal yang diharapkan.

Hal ini disampaikan oleh Dr. Ir. Indardi, M.Si, Dosen Fakultas Pertanian UMY, saat berorasi ilmiah tentang “Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat Tani”, pada Sabtu (3/3) bertempat di Kampus Terpadu UMY. Dalam orasi ilmiah tersebut, dipresentasikan disertasi Indardi yang baru saja menyelesaikan S-3nya di Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran, Bandung. Penelitian disertasinya mengambil studi kasus dalam Kelompok Tani Jamur Merang di Desa Argorejo, Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Menurut temuan Indardi, ada perbedaan pemahaman tentang konsep-konsep pemberdayaan masyarakat dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. “Pada level pemerintah, pemberdayaan dimaknai secara konseptual, walau pun ada beberapa yang memaknai secara praktis. Sementara masyarakat tani, pemberdayaan dimaknai secara praktis, yakni bekerja bersama-sama untuk sebuah hasil yang bisa dirasakan bersama pula,” tuturnya.
Kenyataan di lapangan, menurut Indardi, menunjukkan bahwa pemberdayaan kelompok tani sebetulnya berangkat dari individu yang cukup berdaya, namun dalam pelaksanaan kegiatannya belum bisa memberdayakan petani seperti yang diharapkan. “Peran pemerintah dalam hal ini lebih bersifat terkait dengan pendanaan dan pembinaan untuk teknis operasional saja, dalam kegiatan produksi jamur merang. Seharusnya, lebih baik bila pemerintah juga menyentuh pranata atau kelembagaan yang diperlukan, agar dapat memperkuat individu untuk berkembang,” ujarnya.

Temuan yang lain, masih menurut Indardi, proses komunikasi yang terjadi pada kelompok tani, cenderung hanya pada teknis budidaya jamur merang saja. “Belum ada pertemuan rutin untuk membahas berbagai persoalan yang ada. Secara garis besar, proses komunikasi yang terjadi dalam kelompok tani jamur merupakan komunikasi seperlunya saja,” lanjutnya.
Selain itu, Indardi juga menemukan bahwa dalam meraih keberhasilannya, masing-masing petani memiliki nilai-nilai individual yang dijadikan pedoman masing-masing. Capaian itu dapat dikategorikan belum berhasil, sehingga masih memerlukan berbagai upaya agar lebih maksimal.