Aku dan Tangga tanpa ujung #Part 1  

Posted by: Intan Lingga in




Bu Retno, wonder woman, single parent

Di sebuah rumah susun dia tinggal. Sekilas, rumah susun itu tampak seperti asrama mahasiswa yang masih baru. Pertama kali aku mendatangi tempat tinggalnya, aku takjub. Setahuku, rumah susun itu kumuh. Ini mungkin persepsiku akibat tayangan-tayangan di Televisi yang selalu menampilkan rumah susun yang tampak kumuh, berisi jemuran-jemuran yang digantung sembarangan, dan anak-anak putus sekolah. Tapi rupanya, rumah susun ini rapi. Ada satpam yang siaga di mejanya untuk meminta identitas tamu yang datang. Entah untuk apa, mungkin, supaya aman? Aku tidak pernah sempat menanyakan, karena selama aku berkunjung ke rusun ini, aku cukup menyapa satpam sambil nyelonong masuk ke area parkir sebelah dalam. 

Bu Retno bercerai dengan suaminya empat tahun lalu, itu menurutnya. Alasannya, KDRT, Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sampai sekarang, mantan suaminya, yang sering disebut ‘mantanku’ oleh Bu Retno masih sering menghubunginya. Itulah yang membuatnya sering kali tidak mengangkat teleponku setiap kali aku mengambil jahitan di rusunnya, “di-silent Mbak,” dan membuatku harus menaiki tangga empat lantai untuk ke kamarnya. 

Kamar yang cukup sederhana. Ada tiga ruangan yang disekat di sana. Ruangan depan seluas tiga kali tiga meter, digunakannya untuk ruangan santai. Ada Televisi, Karpet, dan Dispenser di sana. Kadang, saat-saat tertentu, ada kasur tipis juga tergeletak di atas karpet hijau yang menutupi lantai ruang itu. Satu ruangan di belakangnya, lebih sempit, dan penuh dengan tumpukan kain, baju, dan perca. Ada sebuah alat jahit usang di salah satu sudutnya, alat jahit berpedal yang mirip dengan alat jahit dirumah nenekku. Diberi lampu kecil, seolah itu adalah meja belajar yang digunakannya ketika malam. Ada sebuah boneka manekin yang dibalut kebaya berwarna oranye, manis sekali. Dengan bangga dia selalu menceritakan kalau itu adalah seragam keluarga untuk pernikahan keponakannya.

Sejak perkenalanku dengannya bulan lalu, sudah beberapa kali aku kemari. Seminggu dua kali, aku selalu mengantar kain dan mengambil jahitan darinya. Dari keempat penjahitku saat ini, Bu Retno adalah penjahit yang sebenarnya paling tidak rapi jahitannya. Sudah beberapa kali aku memberinya pengarahan, tapi rasanya sama saja. Tapi ya sudahlah, aku tidak tega untuk tidak memberinya order jahitan. Lagi pula, tiga penjahitku tidak sanggup memenuhi pesanan yang setiap hari semakin banyak. Aku memiliki empat kenalan penjahit, keempatnya berbeda karakter, berbeda visi, tapi mereka semua perempuan. Bu Retno tinggal berdua dengan anak lelaki bungsunya. Anak lelaki sulungnya sudah berkeluarga. 

Dari awal menatap matanya, aku tahu ada sesuatu di balik bola matanya. Entah kenapa, setiap kali ngobrol dan bertemu pandang, aku ikut merasa pedih. Bola mata dan keriput di sekelilingnya, membuatku yakin kalau Bu Retno sudah sangat banyak makan asam garam kehidupan. Aku seringkali menebak-nebak apa yang sudah pernah dialaminya, benar-benar membuatku penasaran. Bu retno yang agak genit dan selalu memanggilku dengan sebutan yang berbeda dari orang kebanyakan. “Mbak In”. Dia selalu saja punya alasan setiap kali jahitannya telat, aku hanya mengiyakan sambil tersenyum simpul. Aku tahu dia berbohong, hanya saja aku berusaha memaklumi kalau pekerjaannya memang menyita banyak waktunya.
Bu Retno bekerja siang hari di sebuah rumah batik yang besar. Jam kerjanya membuatnya merasa tidak sempat mengerjakan ‘pekerjaan yang lain’. Yah, maksudnya adalah pekerjaan sambilan, seperti mengerjakan order dariku, misalnya. Satu yang membuatku iba padanya, dia selalu saja mengeluhkan majikannya. “Mbak In, saya itu kerja dari jam delapan pagi sampai empat sore, tapi gajinya kecil sekali,” begitu dia selalu saja mengulang hal yang menurutnya memberatkan itu. Katanya, sering dirinya dan tenaga kerja yang lain diminta lebur, tetapi hanya mendapat bonus semangkuk mie ayam. Padahal, masih menurut Bu Retno, majikannya dalam beberapa tahun saja sudah melipatgandakan mobilnya. “Dulu mobilnya dua, sekarang empat.” 

Aku semakin tidak yakin kenapa aku ingin menjadi pengusaha. Mau kaya? Mau mandiri? Mau punya segalanya? Di Indonesia, atau paling tidak, di beberapa seminar tentang kewirausahaan yang aku ikuti, kebanyakan berbicara masalah materi. “Orang yang bisa menjadi kaya raya, ya, pengusaha.” Dulu, tiga atau empat tahun yang lalu, aku memang salah satu orang yang ingin sukses dan kaya. Tapi beberapa tahun terakhir, aku sadar kalau seberapa pun uang yang ku miliki, akan habis untuk waktu yang singkat. Pakai saja uangnya untuk belanja, atau beli rumah, beli mobil, senang-senang dengan pacar, ludes sudah. Aku yakin ada yang lebih besar, jauh lebih besar dari itu. Salah satunya, mungkin, mengenal orang seperti bu Retno. Wanita separuh baya yang masih terlihat centil, dan gigih. Untuk memenuhi kebutuhannya, dia sering sekali mendatangi rumah teman-temannya untuk menawarkan diri membetulkan jahitan teman-temannya itu. Berbekal mesin jahit berwarna putih yang cukup kecil di dalam tasnya. Tapi hal itu, dilakukannya sebelum semua barangnya dijual oleh ‘mantannya’. 

Ada yang aku suka darinya. Saat berpamitan pulang dan mencium tangannya seperti yang kulakukan pada Ibuku sendiri. Itu menyejukkan. Walau dihatiku masih ada keraguan apakah hubungan yang kuanggap tulus ini juga dianggapnya tulus. Apakah dia cuma menganggapku “seorang mahasiswi yang berusaha jadi pengusaha, dan memberinya order”. Tapi apa pun yang dia pikirkan, aku yakin Sang Pencipta lebih tahu. Aku hanya berusaha mengikuti kata hatiku saja. Ini yang sekarang aku inginkan, yang membuatku hidup, walau pun ini juga yang membuatku sering mengeluh saat kegagalan-kegagalan datang menghiasi hari-hari terakhirku.

This entry was posted on Jumat, Maret 09, 2012 and is filed under . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar