Di Indonesia, Koruptor Tetap Dihormati  

Posted by: Intan Lingga

Kita memusuhi teroris, tapi tidak memusuhi koruptor. Di Indonesia, koruptor bisa menjadi orang terhormat. Seorang koruptor yang rajin menyumbang di kampungnya, bisa jadi seseorang yang dihormati di kampung itu. Masyarakat Indonesia masih terlalu permisif, sehingga menjadi koruptor rupanya tidak serta merta membuat orang dimusuhi lingkungannya. Selama budaya ini tidak diubah, maka akan sulit bagi Indonesia untuk menerapkan pemerintahan yang bersih dan transparan.

Hal ini dikatakan oleh Fahmi Idris, Mantan Menteri Perindustrian, dalam seminar “Good Governance” yang diselenggarakan oleh Jusuf Kalla School of Government (JKSG) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis (12/4) di Kampus Terpadu UMY. 

Seperti dikatakan Fahmi, yang bisa merubah keadaan ini adalah kaum terpelajar. “Kaum terpelajar, seperti misalnya mahasiswa, adalah orang-orang yang diharapkan akan mampu merubah keadaan menjadi lebih baik. Hal ini karena mereka bisa melogikakan semua yang terjadi, terlatih untuk berargumen dalam menerima dan menolak sebuah keputusan, kaya dengan teori-teori dan pemahaman, serta bisa melihat dari banyak sisi,” ujarnya. 

Fahmi menambahkan, semua negara bisa menerapkan pemerintahan yang efektif, tidak terkecuali. Asal, pemimpin dan warga negara menyadari pentingnya hal ini. Untuk itu, dibutuhkan seorang pemimpin yang mampu merealisasikan program yang sudah disusunnya. “Ibarat gerak jalan, saat pemimpin meneriakkan balik kanan, masih ada yang anggotanya yang belok kanan, belok kiri, ata malah berjalan-jalan. Artinya, pemimpin tidak efektif. Selain pemimpin yang harus mampu memimpin dengan efektif, juga diperlukan masyarakat yang terus dipandaikan,” lanjutnya. 

Ada dua konsep kekuasaan, lanjut Fahmi, kekuasaan abstrak dan konkret. Di negara maju, kekuasaan cenderung abstrak, karena merupakan kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya, pemimpin dipilih karena rakyat percaya. Sebaliknya, di negara berkembang, kekuasaan adalah konkret. Sehingga pemimpin seakan bebas memberi wewenang. “Dulu, ada beberapa departemen yang seperti super departemen. Mengeluarkan uang, mencatatnya, sekaligus menerima uang. Seharusnya tidak boleh. Yang menerima, mencatat, dan mengeluarkan seharusnya dari pihak yang berbeda, itu baru benar,” pungkasnya.

This entry was posted on Rabu, April 11, 2012 . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar