Lakukan sesuatu dengan lebih bijak, dapatkan kebijakan itu dengan “mengetahui”  

Posted by: Intan Lingga in

Kebingungan  hari ini mengantarkan saya  untuk menulis,

Teman-teman mungkin saja memiliki data base informasi yang lebih lengkap dengan perangkat analisis yang lebih tajam dari pada saya, tapi disini saya hanya memaparkan sedikit kegelisahan yang merupakan kontradiksi pikiran, ilmu, hati, dan kenyataan yang saya alami, terutama hari ini.

Indonesia tiba-tiba saja memiliki hari baru untuk diperingati, hari 1 tahun kepemimpinan SBY di periode kedua. Yang dirayakan dengan demo anarkis dimana-mana, yag dilakukan oleh kawan-kawan saya sesama mahasiswa. Di tempat yang lain, beberapa media berkoar dan menampilkan banyak sekali kegiatan “menghujat SBY”. Entahlah ini benar atau tidak, hanya menurut saya agak kurang tepat. Pahamkah mereka yang berkoar itu?

Dibeberapa buku yang saya baca tentang pemerintahan SBY, berbagai program sudah dilakukan demi membenahi Indonesia, hanya saja kita sekarang ini memang dihadapkan pada keadaan yang serba sulit. Kita diwarisi “Negara” yang sudah morat-marit dari para pendahulu kita. Saya juga tidak pro dengan Pak SBY, haya saja hujatan kepada beliau membuat saya miris..apalagi kawan-kawan saya yang melakukannya. Lihatlah sejenak kebelakang, bagaimana kita ini dihadiahi bumi Indonesia ini dalam keadaan kacau balau. 

Kontrak hutang luar negeri yang ditandatangani pada zaman orde baru, ternyata masa cicilan pertamanya adalah sekitar beberapa puluh tahun kemudian, yaitu sekarang ini. Kesejahteraan Indonesia di masa lalu, memberikan dampak yang sangat besar bagi kita. Kita diwarisi “cicilan hutang”, yang itu berarti pemerintah zaman sekarang menanggung hutang zaman dulu. Dari cerita singkat ini, bisa dibayangkan bagaimana rumitnya.

Di sisi lain, diloloskannya para investor asing di Indonesia untuk membangun “kerajaannya”, ternyata seperti bom waktu. Di saat permulaannya, mereka datang memang menawarkan “harta yang berkilau”, yang dikaitkan dengan peningkatan perekonomian rakyat, dll. Namun pada kenyataannya, akibat jangka panjang yang kita dapatkan justru berlipat-lipat lebih pahit daripada kemewahan yang menggiurkan itu. Mereka meninggalkan Indonesia setelah mereka bangkrut, dengan meninggalkan berbagai kerusakan alam, sumber daya yang terkuras, ekosistem yang terganggu, hingga begitu banyaknya bencana terjadi melanda kita, hanya karena ulah “pembobol” itu. Dan parahnya lagi, para tokoh yang dulu menandatangani kontrak-kontrak tersebut sekarang ini sudah terlalu tua untuk berpikir, bahkan mungkin sudah meninggalkan dunia ini. Hebatnya, semua ini sebenarnya sudah diprediksi oleh bung Karno dengan “Marhaenisme”nya, yang selalu beliau perjuangkan.

Setelah saya membaca beberapa buku yang ternyata benang merahnya kurang lebih sama, begitu banyak kegelisahan yang ada. Tapi menjadi anarkis bukanlah jawabannya. Saya, anda, dan kawan-kawan yang demo itu mahasiswa! Coba renungkan kata itu. Kita disiapkan untuk berpikir, untuk menganalisa, bukan untuk membakar ban karet dan mengharapkan perubahan. Kita bisa melakukan hal yang lebih baik. Kita bisa berpikir, menuangkan pikiran dari berbagai sudut pandang, berbagai disiplin ilmu, yang pasti akan menghasilkan banyak solusi untuk ditawarkan.

Saya yakin, apapun itu, seorang pemimpin pasti memikirkan yang terbaik. Ini logika yang membuat kita menerima mengapa seorang pimpinan paling tidak harus lebih pintar daripada bawahannya. Pemimpin, ketua, memang disiapkan untuk berpikir, strategik, bukan pekerjaan lapangan. Jadi kalau kita menyalahkan presiden atas terjadinya korupsi di kabupaten, kecamatan, kelurahan, itu mungkin hanya sepersekian persen kesalahan presiden. Tapi sembilan puluh persen adalah karena tidak bertanggung jawabnya orang-orang lapangan yang diberi tanggung jawab. Sampai disini, maka pengawasan ada pada kita. Kalau kita menuntut segalanya baik tapi kita tidak bisa diajak kerjasama, itu mustahil.

Presiden yang ada di sana, dengan area kepemimpinan dengan jumlah penduduk seperti di Indonesia, pasti memiliki banyak sekali pilihan setiap kali harus mengambil keputusan. Sementara kita tahu, setiap pilihan pasti ada resikonya. Tapi yang saya lihat, orang mau memilih, tapi tidak mau resiko. Contoh gampang, mau pendidikan murah tapi tidak mau bensin naik harga.
Satu dampak buruk yang juga “mungkin”muncul dari peristiwa ini adalah adanya penumpukan kepentingan, ada pihak-pihak yang mencari “muka” saat semua orang menghujat. Disadari atau tidak, “muka” palsu tadi mungkin saja akan membuat kita salah pilih untuk kesekian kalinya di masa yang akan datang. Dan ini akan terus menjadi lingkaran yang tanpa ujung.
Jujur, sampai disini pun saya tidak tahu darimana harus memulai apa yang saya ulas di atas. Tapi saya yakin, ketika kita melakukan yang terbaik dan yakin pada diri kita, jalan akan terbuka satu per satu. Saya mulai dengan menulis. Dari tulisan ini saya berharap teman-teman yang sempat membaca akan mencoba berpendapat dengan lebih objektif.


“Lakukanlah dulu, temukan masalahnya, baru berbicara”
“Kalau sudah melakukan tapi belum juga menemukan, lebih baik diam, karena itu akan lebih baik, daripada membuat keadaan semakin tidak baik”

Original by : Miss Feel’inLucky

This entry was posted on Rabu, Oktober 20, 2010 and is filed under . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar