Purbalingga-ku Sayang..  

Posted by: Intan Lingga in

Aku pulang kampung. Begitu yang terbesit di pikiranku tiap pulang ke rumah. Jarak Yogyakarta-Purbalingga memang tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 240-an kilometer. Tapi kesibukanku di kota pelajar itu membuatku tak bisa sesering itu pulang ke rumah.
     Terakhir ingat Purbalingga, di bayanganku, dia kota yang megah. Walaupun aku belum banyak berkeliling kota, tapi aku yakin Purbalingga adalah salah satu kota terindah yang pernah aku tahu. Dalam kenanganku, Purbalingga sedang maju-majunya.     


Investor berdatangan, membangun pabrik-pabrik besar yang menyerap banyak tenaga. Ratusan, bahkan ribuan warga mendapatkan pencerahan akan pekerjaan yang layak setelah lulus SMA. Kira-kira, itulah yang terjadi saat aku lulus SMA, sekitar 5 atau 6 tahun yang lalu. Banyak remaja seusia-ku yang (mungkin) kurang mampu untuk meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, kuliah, akhirnya mulai bekerja di pabrik.     


Seseorang yang kukenal dekat, dan mungkin beberapa yang lain, juga ikut tren itu. Bekerja di pabrik. Aku berucap syukur, karena aku salah satu yang bisa melanjutkan untuk mencari ilmu 'lebih' demi masa depan yang lebih baik [semoga].     Sebenarnya, mungkin ini cuma unek-unekku saja. Tapi barangkali ada teman yang sependapat denganku, kita bisa berdiskusi lebih jauh.    


Aku sempat berharap, temanku yang memilih untuk bekerja di pabrik itu terpikir untuk menyisihkan penghasilannya dan menggunakannya untuk mengambil sekolah lagi. Mungkin kursus, atau sekedar menambah keterampilan yang lain. Aku pun sempat menasihati salah satu kawanku, walaupun responnya biasa saja (tidak tertarik). Dan sampailah ceritaku pada masa sekarang ini.    


Saat ini [kepulanganku yang ke sekian kali] membawaku pada keprihatinan. Salah satu kawan bercerita bahwa sekarang dia hanya bisa berpindah-pindah pabrik untuk tetap berpenghasilan. Pertama, dia pindah karena lingkungan kerja yang 'kurang nyaman' baginya. Lalu dia pindah lagi, karena tak kuat menghirup 'udara tembakau' di pabrik rokok. Dan dia sempat mengeluh padaku bahwa nanti, setelah umur 35 tahun dia akan bingung karena mungkin sudah tak bisa mengandalkan pabrik lagi untuk tempatnya bekerja (memang setahuku, buruh pabrik memang untuk mereka yg usianya produktif). Kapital memang tak kenal dengan nurani. Orientasi mereka pasar. Dan entah, apa teman-teman yang sekarang mengalaminya, merasa, sadar atau tidak. (mohon kalau salah dibetulkan ya ^_^).     


Lalu apa bedanya ini dengan penjajahan??     Cobalah bantu aku menjawab ini : Setelah semua orang, ratusan bahkan ribuan orang yg sekarang mengandalkan gaji sebagai pekerja pabrik sudah tidak bisa lagi mengandalkan fisiknya yang semakin tua, lalu mereka mau apa? Sementara generasi nantinya akan butuh orang tua yang seharusnya, paling tidak berilmu.     Sepertinya ada yang sedikit kurang di sini. Kemana kesadaran akan pendidikan? Investasi asing itu seharusnya diiringi dengan investasi pendidikan bukan? Sepertinya ini bukan solusi.. Mungkin iya, tapi tidak untuk jangka panjang. Aku ngeri membayangkan masyarakat kotaku belasan tahun setelah ini.     Rasanya apa yang aku pikirkan benar kan? Kalau tidak, untuk apa Kartini mati-matian memperjuangkan pendidikan?  Oya, selamat Hari Kartini ya..=)     Kalau ada solusi, mari kita pikirkan bersama..demi Purbalingga kita ^_^  Salam..    


__Intanian__  
Purbalingga, 22 April 2011

This entry was posted on Jumat, April 22, 2011 and is filed under . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar