Kaum Difabel dan HAM (Jawa Pos, Selasa, 13 Desember 2012  

Posted by: Intan Lingga in

Sebagai perempuan yang bisa mengecap pendidikan tinggi dan hidup secara normal, hati saya tergerak untuk menulis tentang Tari (19), gadis cacat mental asal Ngawen, Klaten, yang beberapa waktu lalu diberitakan oleh sebuah koran lokal Yogyakarta. Gadis yang tidak bisa mendengar, berbicara, dan berjalan ini sedang mengandung bayi berumur empat bulan di perutnya. Mirisnya, yang dikandungnya adalah hasil perbuatan asusila tetangganya sendiri. Dengan keadaannya yang penuh ketidakmampuan, entah bagaimana gadis ini mengatasi gejolak dalam dirinya. Hal ini menjadi sebuah ironi, mengingat beberapa hari lalu, seluruh dunia memperingati hari Difabel, hari untuk para penyandang cacat.

Memang, sejak tahun 1992, tanggal 3 Desember diperingati sebagai Hari Difabel. Bisa kita simak di media massa, bagaimana banyak pihak berbondong-bondong menggelar acara bagi para penyandang cacat ini. World Health Organization (WHO) mencatat, jumlah penyandang cacat di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 15%. Itu artinya, ada sebanyak 51 juta jiwa penyandang cacat di Indonesia sekarang ini. Penyandang cacat ini memiliki kekurangan dengan bentuk yang beraneka ragam.
Melihat euforia peringatan hari difabel beberapa hari yang lalu, tentu kita turut merasa senang, bahwa masih ada pihak-pihak yang peduli pada penyandang cacat ini. Berbagai kegiatan digelar, dari mulai pameran karya anak-anak difabel, sampai perhatian pemerintah dalam memperjuangkan aspirasi kelompok difabel demi kesetaraan hak-hak sosial ekonominya, seperti diberitakan Jawa Pos Minggu, 4 Desember 2011.

Tapi rupanya hal itu memang terasa sangat jauh bagi seorang Tari. Secara fisik, tari sudah tidak bisa menikmati kehidupan normal seperti layaknya saya dan teman-teman. Pun, dalam hal pendidikan, fasilitas umum, bagi difabel masih menjadi kontroversi, karena diskriminasi pada kelompok ini masih ada di mana-mana. Lebih dari segala ketidakbisaan Tari menikmati hal tersebut, ternyata Tari harus menjadi Ibu bagi anak yang mungkin sama sekali tidak diinginkannya. Untuk mengadu pada Ibunya pun, Tari tidak mampu.
Sebenarnya, Indonesia telah memiliki hukum demi melindungi para difabel. Seperti yang tertera pada UU No 4 Tahun 1997 dan pasal 41 (2) dan 42 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, kelompok penyandang cacat diharuskan memperoleh pelayanan khusus. Pelayanan khusus, mungkin salah satunya memang pemerataan fasilitas umum, pendidikan, dll. Namun dari kisah Tari, kita bisa menangkap bahwa fasilitas khusus bisa jadi adalah sesuatu yang sangat sederhana, yakni jaminan atas sebuah harapan masa depan. 

Tari mungkin bukanlah anak orang kaya dengan ekonomi yang lebih sehingga dia bisa mencicipi berlatih main piano, dia juga tidak bisa merasakan bagaimana dia dilatih untuk menjadi penyandang cacat yang bisa berkarya. Mungkin, semua itu memang bukan untuk difabel dengan banyak keterbatasan, termasuk keterbatasan ekonomi seperti Tari. Walaupun seharusnya, Tari, dan Tari-Tari yang lain bisa merasa aman dengan hadirnya UU di atas tadi.
Memihakkah Hak Asasi Manusia? Seharusnya tidak. Seharusnya “HAM” bagi difabel bukan hanya untuk kalangan “difabel yang mapan ekonomi” saja. Tapi lebih jauh dari itu, justru difabel dengan keterbatasan ekonomi seperti Tari. Yang tidak bisa mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang bisa membuatnya menuai prestasi, yang tidak bisa mendapatkan perhatian khusus dari orang tua karena orang tuanya disibukkan dengan pekerjaan atas dasar kebutuhan ekonomi, yang tidak bisa mendapatkan perlindungan ‘khusus’ dari para pemuda asusila yang memanfaatkan tubuhnya demi nafsu yang amoral. Jadi, seperti apakah bentuk HAM bagi difabel? Apakah hanya HAM dalam pendidikan saja? Lalu bagaimana dengan difabel yang bahkan tidak menikmati pendidikan sama sekali?
Saya jadi ingin bertanya, apakah kalau yang difabel itu anak pejabat dengan penghasilan dan reputasi tinggi diperkosa pemerintah akan diam saja? Mungkin tidak. Tapi bisa jadi, dengan uang lebih para pejabat yang memiliki anak difabel memang akan menyiapkan uang lebih banyak untuk menyibukkan anaknya. Seharusnya, hal ini lebih menjadi perhatian pemerintah. Seharusnya HAM untuk difabel pun tidak memihak. Apalagi memihak pada yang kaya. Hakikat berbangsa dan berbegara adalah demi kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya. 51 juta penyandang cacat/difabel di Indonesia juga adalah rakyat Indonesia. Hal-hal kecil yang sederhana sebenarnya bisa dilakukan. Seandainya, tiap kelompok Ibu PKK, atau kelompok RT dan RW bisa meluangkan sedikit waktunya untuk turut memberdayakan kaum difabel, juga memberi pengertian pada lingkungan sekitar bahwa difabel adalah juga manusia yang berhak atas Hak Asasinya, untuk hidup, dan untuk memiliki masa depan yang lebih baik. 

Tanggal 10 Desember merupakan Hari yang kita peringati sebagai Hari HAM. Seharusnya euforia tidak hanya meriah di permukaannya saja, tapi perlu sebuah langkah nyata walaupun sederhana. Dengan hampir 340 juta penduduk Indonesia yang mendapatkan pengarahan dan merasa saling memiliki satu sama lain, HAM terasa lebih menjanjikan. Dan sebenarnya, dengan melihat jati diri bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika, seharusnya kultur semacam itu bisa dibangun kembali. 

RADAR JOGJA, Selasa (13 Desember 2011)
RUANG PUBLIK
"Menggugat Hak Difabel"


This entry was posted on Kamis, Desember 15, 2011 and is filed under . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar