Politik uang bagaikan kentut. Tidak jelas siapa yang
mengeluarkan, tetapi baunya menyengat. Politik uang dapat kita rasakan, tetapi
pelakunya sulit sekali ditangkap. Bahkan, yang tertangkap basah sedang membagi-bagikan
uang pun tidak dihukum. Sebagian orang menganggap bahwa politik uang adalah hal
yang biasa dilakukan dari mereka yang hendak menjabat sebagai kepala daerah
atau anggota dewan. Padahal, praktik politik uang inilah yang menggagalkan
suksesnya pemilukada/pemilu yang diharapkan menjadi mekanisme pergantian
kekuasaan di daerah dengan cara yang demokratis, jujur, adil, dan transparan.
Dr. Zuly Qodir, Dosen Pasca Sarjana/Magister Ilmu
Pemerintahan (MIP) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, mengatakan hal tersebut
saat mengisi Workshop “Pengaruh Politik Uang Terhadap Partisipasi Pemilih Dalam
Pemilu”, Rabu (2/5) bertempat di Kampus Terpadu UMY. Dalam acara yang
diselenggarakan oleh Fisipol UMY bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Kabupaten Bantul ini, juga menghadirkan Zaenal Arifin Muchtar, SH.,LL.M
(PUKAT UGM) dan Dr. Inu Kencana Syafei (Dosen Fisipol UMY) sebagai pembicara.
Menurut Zuly, saat ini praktik politik uang masih sangat
tinggi di Indonesia. “Praktik politik uang mendominasi sepanjang pilkada 2011.
Dari catatan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), dari 1.718 laporan dugaan
pelanggaran yang diterima selama pelaksanaan pilkada, sebanyak 367 laporan di
antaranya masuk dalam kategori politik uang. Politik uang ini biasanya muncul
dalam bermacam bentuk menjelang pilkada, seperti bujukan untuk menyoblos dengan
imbalan rupiah, pemberian hadiah, dan diselenggarakannya berbagai turnamen
menjelang pemilukada,” jelasnya.
Dilihat dari dampaknya, lanjut Zuly, yang paling membahayakan
dari praktik politik uang adalah adanya keinginan untuk segera mengembalikan
‘modal’ yang telah dikeluarkan selama proses pemilu/pemilukada. “Gaji tiap
bulan yang didapat kandidat bila terpilih tentulah tidak cukup untuk
mengembalikan modal yang dikeluarkan sebelumnya. Jalan satu-satunya adalah
korupsi. Tidak sedikit kandidat pilkada yang berusaha mencari dana perseorangan
atau kelompok tertentu untuk membiayai ambisinya menjadi kepala daerah. Jika
terpilih nanti, tentu dia harus siap membayar kembali dana yang telah dipakainya
itu,” ujarnya.
Zuly menambahkan, hal penting yang harus dilakukan adalah
memberikan pendidikan politik agar pemilih (khususnya di Indonesia) mampu
menjadi pemilih kritis, bukan pemilih pragmatis (hanya menyoblos dan tidak mau
tahu lagi), bukan pula pemilih oportunis (yang justru memanfaatkan untung rugi
dari terselenggaranya pemilu/pemilukada). “Warga negara yang kritis akan
berdampak pada kualitas pemilu yang diselenggarakan. Saat ini, kecenderungan
yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia adalah terlalu mahal dari sisi
biaya, tetapi minim kualitas, karena pemilihnya tidak kritis. Pemilih kritis
adalah pemilih yang mengetahui pentingnya pemilu sebagai proses politik,”
terangnya.
Yogyakarta, 2 Mei 2012
This entry was posted
on Kamis, Mei 17, 2012
and is filed under
Release Biro Humas UMY
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
.