Dampak Nikah Siri, Perempuan dan Anak Seringkali menjadi Korban  

Posted by: Intan Lingga in

http://www.umy.ac.id/dampak-nikah-siri-perempuan-dan-anak-seringkali-menjadi-korban.html
Fenomena perkawinan bawah tangan/kawin siri di kalangan masyarakat semakin menjadi tren, termasuk di kalangan mahasiswa. Niat awal menghindari ‘zina’, berbuntut panjang ketika hubungan tersebut tidak segera dicatatkan secara resmi menurut hukum di Indonesia. Hal ini akan semakin memprihatinkan bila ternyata hubungan ‘siri’ tersebut menghasilkan anak. Selain tidak sah secara hukum, anak tersebut akan kehilangan hubungan hukum terhadap ayah. Akhirnya, banyak sekali perempuan dan anak kehilangan hak mereka seperti hak nafkah, warisan jika si ayah meninggal, serta isteri yang tidak akan mendapatkan harta gono-gini. 

Hal ini disampaikan oleh Anne Permatasari, MA., dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, selaku Ketua Pusat Studi Wanita (PSW UMY). 

Atas dasar hal tersebut, PSW UMY bekerja sama dengan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dan Forum Suara Lintas Perempuan Yogyakarta (SLPY) menyelenggarakan acara Pemutaran Film “Pernikahan Yang Tidak Tercatat” dan Diskusi “Pernikahan Yang Tidak Tercatat Tinjauan Agama dan Sosial”, bertempat di Kampus Terpadu UMY Rabu (21/9). Dalam acara ini dihadirkan Dr. Wawan Gunawan dari Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dan Ifa Ariyani, S.Psi., Ketua Forum SLPY. 

Film yang diputar sebelum diskusi dimulai merupakan film dokumenter, menceritakan tentang bagaimana kehidupan pasangan nikah siri dengan segala kesulitan yang dialami akibat melakukan nikah siri. Film berdurasi kurang lebih 20 menit ini dibuat oleh Lembaga Pengembangan Perempuan dan Anak bekerja sama dengan SLPY. 

Dalam diskusi ini Ifa menjelaskan mengenai berbagai dampak negatif akibat kawin siri yang ternyata akan sangat dirasakan oleh pihak perempuan, dan juga anak apabila sudah terlahir anak dalam perkawinan. Isteri siri cenderung mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Anak hasil kawin siri akan sulit mendapatkan haknya, karena tidak jelas statusnya secara hukum negara. Sementara dalam perkembangan mental, anak hasil kawin siri akan mengalami tekanan mental. Cenderung merasa malu, sehingga perkembangannya pun menjadi tidak optimal.

Dari sisi yang lain, Wawan memaparkan bagaimana sebuah kawin siri dipandang dalam agama. Wawan menegaskan bahwa saat ini Majelis Tarjih bekerja sama dengan Aisyiah telah mengajukan draft Rancangan Undang-Undang Perkawinan. “Kami mengajukan satu pasal, ayat, bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi,” ungkapnya. Menurut Wawan, ada sebuah kesalahan stigma pada masyarakat. Masyarakat seringkali membenarkan perbuatan nikah sirinya dengan dalih bahwa pada zaman Rasulullah saw pernikahan tidak dicatatkan. “Adalah tidak benar pada masa Rasul nikah tidak dicatatkan. Pencatatan pernikahan pada zaman Rasul memang bukan dengan ditulis, tapi dengan memori kolektif. Setiap ada pernikahan, akan diiklankan, sehingga banyak orang berdatangan dan mengingat peristiwa itu. Itulah cara pencatatannya. Karena bagaimana akan ditulis padahal zaman itu belum dikenal tulisan,” terang Wawan.

Sebagaimana halnya disampaikan Anne, perempuan yang melakukan kawin siri akan sulit untuk bersosialisasi karena masyarakat akan cenderung memiliki opini negatif. Sementara anak hasil kawin siri akan kehilangan banyak haknya. “Perempuan yang dinikahi secara siri mungkin akan dianggap perempuan simpanan, hal ini tentu saja akan sangat merugikan bagi perempuan. Belum lagi kalau anak tidak memiliki status yang sah secara hukum, ayahnya bisa dengan mudah tidak mengakuinya,” kata Anne yang mengaku sangat tidak setuju dengan kawin siri. 

Anne juga menambahkan bahwa ternyata banyak mahasiswi yang melakukan kawin siri akhirnya menanggung beban sendiri. “Yang mengkhawatirkan dari mahasiswa sekarang ini, mereka kadang melakukan kawin siri tanpa diketahui orang tua mereka karena jauhnya jarak antara Kota Yogya dengan asal mereka yang luar Jawa, misalnya. Ketika ternyata perkawinan itu menghasilkan anak, akhirnya mereka terjerumus kepada masalah yang berkepanjangan,” ungkap Anne.

Edited :
Pernikahan siri lebih banyak membawa dampak buruk bagi perempuan dan anak. Hal ini disebabkan ketika pernikahan di bawah tangan itu dilakukan kemudian menghasilkan anak. Selain tidak sah secara hukum, anak tersebut nantinya akan kehilangan hubungan hukum terhadap ayah. Sehingga tidak jarang perempuan dan anak kehilangan hak mereka seperti hak nafkah, warisan jika si ayah meninggal, serta isteri yang tidak akan mendapatkan harta gono-gini ketika bercerai.

Hal ini disampaikan oleh Anne Permatasari, MA., dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), selaku Ketua Pusat Studi Wanita (PSW UMY) di Kampus Terpadu UMY Rabu (21/9) dalam Diskusi “Pernikahan yang tidak Tercatat Tinjauan Agama dan Sosial” dan pemutaran film dokumenter “Pernikahan yang tidak Tercatat”  yang diselenggarakan PSW UMY bekerja sama dengan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dan Forum Suara Lintas Perempuan Yogyakarta (SLPY).

Menurut Anne, perempuan yang melakukan nikah siri akan sulit untuk bersosialisasi karena masyarakat akan cenderung memiliki opini negatif. Sementara anak hasil nikah siri akan kehilangan banyak haknya. “Perempuan yang dinikahi secara siri mungkin akan dianggap perempuan simpanan, hal ini tentu saja akan sangat merugikan bagi perempuan. Belum lagi kalau anak tidak memiliki status yang sah secara hukum, ayahnya bisa dengan mudah tidak mengakuinya,” kata Anne.

Anne juga menambahkan bahwa ternyata banyak mahasiswi yang melakukan nikah siri akhirnya menanggung beban sendiri. “Yang mengkhawatirkan dari mahasiswa sekarang ini, mereka kadang melakukan kawin siri tanpa diketahui orang tua mereka karena jauhnya jarak antara Kota Yogya dengan asal mereka yang luar Jawa, misalnya. Ketika ternyata perkawinan itu menghasilkan anak, akhirnya mereka terjerumus kepada masalah yang berkepanjangan,” ungkap Anne.

Sementara itu dalam diskusi ini, Ketua Forum SLPY, Ifa Ariyani, S.Psi menjelaskan mengenai berbagai dampak negatif akibat kawin siri yang ternyata akan sangat dirasakan oleh pihak perempuan, dan juga anak apabila sudah terlahir anak dalam perkawinan. Isteri siri cenderung mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Anak hasil kawin siri akan sulit mendapatkan haknya, karena tidak jelas statusnya secara hukum negara. "Sementara dalam perkembangan mental, anak hasil kawin siri akan mengalami tekanan mental. Cenderung merasa malu, sehingga perkembangannya pun menjadi tidak optimal."ujar Ifa.

Dari sisi yang lain, Dr. Wawan Gunawan dari Majelis Tarjih PP Muhammadiyah memaparkan bagaimana sebuah kawin siri dipandang dalam agama. Wawan menegaskan bahwa saat ini Majelis Tarjih bekerja sama dengan Aisyiah telah mengajukan Rancangan Undang-Undang Perkawinan. “Kami mengajukan satu pasal, ayat, bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi,” ungkap Wawan.

Menurut Wawan, ada sebuah kesalahan stigma pada masyarakat. Masyarakat seringkali membenarkan perbuatan nikah sirinya dengan dalih bahwa pada zaman Rasulullah SAW pernikahan tidak dicatatkan. “Adalah tidak benar pada masa Rasul nikah tidak dicatatkan. Pencatatan pernikahan pada zaman Rasul memang bukan dengan ditulis, tapi dengan memori kolektif. Setiap ada pernikahan, akan diiklankan atau diberitahukan melalui walimahan, sehingga banyak orang berdatangan dan mengingat peristiwa itu. Itulah cara pencatatannya. Karena bagaimana akan ditulis padahal zaman itu belum dikenal tulisan,” terang Wawan.

Sebelum diskusi dimulai, diadakan pemutaran film dokumenter yang menceritakan tentang bagaimana kehidupan pasangan nikah siri dengan segala kesulitan yang dialami akibat melakukan nikah siri. Film berdurasi kurang lebih 20 menit ini dibuat oleh Lembaga Pengembangan Perempuan dan Anak bekerja sama dengan SLPY.

Yogyakarta, 21 September 2011


This entry was posted on Rabu, September 21, 2011 and is filed under . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar