Kita Rindu Nasionalisme.  

Posted by: Intan Lingga in


Kita rindu nasionalisme. 
Merasakan keutuhan sebagai manusia yang saling membutuhkan.
Kita mendamba melakukan sesuatu.
Hati kita teriris saat melihat orang lain susah.
Tapi apa daya, ternyata teriakan uang lebih lantang terdengar, ketimbang bisikan nurani yang letaknya jauh di dalam hati.
Tertutup suara-suara kepentingan, persis seperti di dalam pasar saja.

Ya..Pasar!
Di pasar, sendal jepit lusuh pun bisa laku, saat ada orang butuh sandal tapi tidak punya uang.
Di pasar, ayam bisa disuntik sebelum disembelih agar menjadi gemuk sesaat, demi timbangan yang lebih berat dari yang seharusnya.
Kurma disuntik dengan air gula, agar terlihat mengkilat dan rasanya lebih manis. Sepertinya penampilan seperti itu lebih menarik untuk dibeli.
Di pasar, apapun bisa dilakukan.
Apapun bisa dibeli.
Dan siapapun bisa membeli, saat dia punya uang.
Dan di depan mataku, pasar yang seharusnya berisi sembako dan kebutuhan hidup orang itu berubah menjadi pasar di mana segala milik manusia bisa dibeli dengan uang.
Satu orang ‘berduit’ bisa membayar seratus orang untuk berbohong.
Semua bisa dibeli.
Negara kita sudah selayaknya toserba yang sangat lengkap.
Ijasah bisa dibeli. Ide bisa dibeli. Pendidikan bisa dibeli. Status sosial bisa dibeli. Wanita bisa dibeli. Masa depan bisa dibeli. Kejujuran bisa dibeli. Kebohongan pun tak mau kalah laku.

Kita rindu nasionalisme!
Itulah kenapa film bertema kepahlawanan selalu membuat kita terharu mengenang masa lalu. Masa-masa perjuangan. Perjuangan untuk Negara. Perjuangan untuk Agama. Perjuangan untuk Cita-Cita. Dan bahkan, perjuangan untuk Menjadi Diri sendiri.

Itulah sebabnya lagu tentang Guru Oemar Bakri yang bersepeda ketika bekerja selalu menjadi legenda. Itulah sebabnya Lagu tentang Nusantara menjadi rasa bangga.
Kita rindu nasionalisme!
Maka, benarlah jika kita butuh untuk bersatu. Bersatu dalam kebaikan, jauh di atas kepentingan nafsu. 

Kita pernah berjuang untuk merdeka, karena kita merasa kita bangsa yang bermartabat.
Lalu kemana perginya rasa bermartabat itu?
Apa membeli ijasah membuat seseorang jadi sarjana yang bermartabat?
Kita punya hati. 
Biarkan dia bicara, biarkan dia bicara jauh lebih lantang dari suara uang. Kita memang butuh uang. Tapi uang belum cukup sakti untuk membeli pertanggungjawaban kita pada orang tua, keluarga, Negara, dan agama.
Kita boleh kaya. Tapi kaya-lah dengan bermartabat. 

Mengakulah. Beranilah. Katakan yang paling kita yakini.
Jangan biarkan nasionalisme itu terkurung di dalam hati, dan meminta untuk disuntik mati.

Yogyakarta, 23 September 2011 05.56am
__Intanian__

This entry was posted on Kamis, September 22, 2011 and is filed under . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar